Abdul Rahman, Bisnis Indonesia, Selasa 5 September 2017
JAKARTA – PT. Jakarta International Container Terminal melansir data kerugian Rp. 33 miliar selama aksi mogok kerja yang dilakukan serikat pekerja pada 3-7 Agustus 2017.
Wakil Direktur Utama PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) Riza Erivan mengatakan data kerugian ini mengacu kehilangan pendapatan sekitar US$ 500.000 per hari atau sekitar Rp. 6,65 miliar per hari dengan kurs Rp. 13.300 per dolar.
“Itu masih hitung-hitungan kasar. Terus terang kami tidak pernah menghitung secara rinci karena memang tidak ada permintaan untuk itu,” katanya kepada Bisnis, Senin (4/9).
Saat ini, dia menyatakan operasional perusahaan sudah kembali normal pascamasa aksi mogok Serikat Pekerja JICT. Namun, dia menambahkan sebagian aktivitas bongkar muat kontainer ekspor impor masih dibagi dengan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja.
Seharusnya, lanjutnya, kontrak kerja sama dengan TPK Koja berakhir pada 31 Desember 2017. Namun, Riza menyatakan berencana mengevalusi terhadap kontrak tersebut. “Kami rencana evaluasi. Kalau bisa lebih cepat akan dipercepat,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, ratusan karyawan JICT yang tergabung dalam Serikat Pekerja JICT melakukan mogok kerja selama 5 hari pada 3-7 Agustus 2017. Aksi tersebut berakhir lebih cepat dari rencana semula yakni 3-10 Agustus 2017.
Mogok berhenti karena SP JICT menduga ada pihak yang menghendaki mogok berlangsung lebih lama. Aksi mogok tersebut membuat aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok sempat terganggu karena 42% proses bongkar muat di Tanjung Priok dikuasai oleh JICT.
Selama pekerja mogok, JICT mengalihkan aktivitas bongkar muat ke empat terminal yakni Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, New Port Container Terminal 1 (NPCT-1), Terminal Mustika Alam Lestari, dan TPK Koja.
Serikat Pekerja JICT melakukan pemogokan untuk menolak perpanjangan kontrak konsensi antara PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dengan Hutchison Port Holding.
Selain, itu Serikat Pekerja JICT juga menilai pembayaran sewa (rental fee) oleh JICT sebesar US$ 85 juta per tahun kepada Pelindo II ilegal.
Selain JICT, pengusaha truk logistik juga mengalami kerugian miliaran rupiah.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Bidang Distribusi dan Logistik Kyatmaja Lookman mengatakan ada sekitar 20.000 unit truk di DKI Jakarta.
RESPON PEKERJA
Sementara itu, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Widijanto mengapresiasi sikap pekerja PT. JICT yang akan menjamin stabilitas layanan dan produktivitas bongkar muat peti kemas di terminal itu.
Saat ini, pengguna jasa membutuhkan kepastian tingkat layanan dan produktivitas jasa pelabuhan untuk efisiensi serta menurunkan biaya logistik nasional.
“Jangan sampai ada mogok-mogok lagi di JICT, sebaiknya fokus saja pada peningkatan produktivitas layanan di terminalnya,” ujarnya.
Widijanto juga berharap ada penyelesaian jika masih tersisa persoalan internal di JICT.
Komitmen jaminan stabilitas layanan dan produktivitad bongkar muat di JICT telah disampaikan melalui surat Serikat Pekerja JICT No. SPJICT/PBT/150/VIII/2017 tanggal 31 Agustus 2017.
“Kami berkomitmen penuh untuk menjaga produktivitas demi kepentingan pelanggan dan perekonomian nasional yang lebih besar,” ujar Ketua Serikat Pekerja JICT Nova Sofyan Hakim.
Dia menyatakan produktivitas dermaga barat yang dioperasikan pekerja JICT rata-rata mencapai 26-28 gerakan peti kemas per jam.
Nova juga menyesalkan masih terdapat pihak tertentu yang menghembuskan isu mogok susulan dan belum adanya kepastian pengembalian dermaga utara, peralatan dan lapangan penumpukan secara penuh kepada JICT.
“Memang kami akui kondisi di internal hingga sekarang masih belum kondusif karena masih berlangsung mutasi massal dan beberapa pekerja dicari kesalahannya dan terancam diganjar surat peringatan ketiga, serta menjurus pada kesalahan pidana,” paparnya.
Nova menyatakan upaya direksi JICT yang membuat layanan terminal menjadi tidak handal justru berakibat pada kekecewaan pelanggan internasional dan masyarakat karena menimbulkan inefisiensi biaya.
“Kondisi seperti ini terjadi akibat kebijakan yang diambil direksi JICT yang juga diketahui para pemegang saham tanpa melalui kajian mendalam. Namun kami tegaskan, di tengah situasi seperti ini, pekerja JICT akan berupaya maksimal untuk memberikan layanan terbaik,” ujar Nova. (k1)