Abdul Rahman, Bisnis Indonesia, Rabu 6 September 2017
JAKARTA – Kementerian Perhubungan mengincar sumber pendapatan baru dari skema pembagian layanan lalu lintas kapal di tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Direktur Kenavigasian Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub I Nyoman Sukayadnya mengatakan ramainya pelayaran global yang melintasi perairan Indonesia membuat penetapan skema pembagian layanan lalu lintas kapal atau traffic separation scheme (TSS) semakin mendesak.
Dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang paling ramai dilalui kapal niaga saat ini adalah Selat Sunda dan Selat Lombok. Keduanya masuk di ALKI I dan ALKI II.
Dengan ditetapkannya TSS di lintasan tersebut, imbuhnya, otomatis kapal yang berlayar wajib membayar biaya pelayanan.
“Kapal yang melalui setiap perairan yang diusahakan itu wajib membayar jasa pengusahan,” katanya sesuai acara Fokus Group Discussion (FGD) tentang Rencana Penetapan Traffic Separation Scheme Selat Sunda di Jakarta, Selasa (5/9).
Bila kapal hanya berlabuh, dia menanyatakan tidak perlu membayar. Namun, dia mewajibkan kapal membayar bila armada berlabuh di dermaga yang memiliki layanan seperti kolam labuh yang lebih aman.
Mengenai besaran biaya dan potensi pendapatan yang bisa diperoleh negara, tegasnya, Kemenhub belum dapat mengakulasi karena baru sampai pada tahap FGD.
Namun, Sukayadya menegaskan potensi dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dipastikan sangat besar mengingat banyaknya kapal yang melintas. Dalam setahun rata-rata ada 70.000 unit kapal yang melintas di Selat Sunda.
Sebagai gambaran, Distrik Navigasi Kelas II Banjarmasin, Kalimantan Selatan mampu memberikan pemasukan ke kas negara senilai Rp. 2 miliar per tahun. Uang tersebut berasal dari jasa Vessel Traffic Services (VTS).
Padahal, jumlah kapal yang melintas di perairan Sungai Barito rata-rata hanya 20.000 per tahun.
Besar kecilnya tarif PNBP jasa kenavigasian yang dibayarkan kapal tergantung pada bobotnya. Kapal yang wajib berpatisipasi adalah yang bobotnya 300 GT ke atas.
Selain itu, kapal yang panjangnya 30 meter atau lebih yang sedang menarik atau mendorong dengan kombinasi panjang 30 meter juga wajib membayar PNBP.
PERLU MASUKAN
Kemenhub menggelar FGD untuk mendapatkan dari para pemangku kepentingan mengingat Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Malaka menjadi rute pelayaran bagi kapal niaga di wilayah Asia Timur.
Selat Sunda merupakan salah satu jalur pelayaran yang padat yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.
Tidak hanya itu saja, di jalur tersebut juga terdapat rute penyeberangan yang dilalui kapal feri penumpang dari Pulau Jawa melalui Pelabuhan Merak menuju Pulau Sumatra seperti Pelabuhan Bakauheni dan sebaliknya.
“Kepadatan lalu lintas kapal di jalur tersebut, tentunya berdampak pada meningkatnya angka kecelakaan di laut,” terangnya.
Kondisi inilah yang menuntut semua pihak-pihak terkait untuk segera mencari solusi dan menetapkan langkah-langkah guna meminimalisasi terjadinya kecelakaan laut.
Penetapan ALKI merupakan konsekuensi Indonesia sebagai negara kepulauan setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 melalui Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Negara Kepulauan (Archipelago State) oleh Konvensi PBB.
Pemerintah dapat melakukan perlindungan dengan menetapkan beberapa aturan, antara lain kewajiban lapor bagi kapal tanker yang membawa bahan bakar dalam jumlah besar dan menetapkan TSS guna menghindari tabrakan karena arus kapal yang melintas lebih teratur dengan penerapan dua arah seperti di Selat Malaka.
Carmelita Hartoto, Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners’ Association (INSA), mengatakan pihaknya mendukung diterapkannya TSS karena sesuai dengan peraturan internasional atau collision regulation.
Hal tersebut bertujuan untuk mencegah keragu-raguan bagi para nakhoda bila berpapasan dengan kapal laim, terutama di selat yang ramau dilintasi kapal.
Namun, Carmelita yang terpilih dalam Rapat Umum Anggota (RUA) INSA Lanjutan menyatakan tidak setuju jika aka nada pengenaan biaya. Menurutnya, adalah kewajiban negara untuk menjamin perairan yang aman bagi kapal-kapal niaga. “Negara-negara lain tidak ada yang memungut biaya. Tidak lazim di dunia internasional,” ujarnya.
Untuk pemasangan dan pemeliharaan rambu-rambu, dia mengklaim pelayaran niaga sudah memberikan kontribusinya.