Abdul Rahman, Bisnis Indonesia, Senin, 6 November 2017
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menghadapi tantangan dalam hal distribusi barang. Biaya logistik yang tinggi merupakan konsekuensi dari kondisi geografis tersebut.
Saat ini, biaya logistik Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Meskipun perbandingan biaya logistik terhadap produk dosmetik bruto (PLB) Indonesia cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir, tetapi angka 23,5% pada 2017 tetap terhitung tinggi.
Cukup sulit menemukan negara yang ideal untuk dijadikan pembanding bagi Indonesia. Alasannya, negara dengan perfoma logistik tertinggi seperti Singapura atau Amerika Serikat adalah negara yang didominasi daratan.
Namun, jika ditilik dari segi peran geografis, Indonesia bisa dibandingkan dengan Belanda. Negeri Kincir Angin tersebut punya peran penting bagi Eropa.
Selain sebagai transshipment hub, Belanda juga mendistribusikan 12 juta TEUs barang ke seluruh daratan Benua Biru.
Dengan begitu, Belanda harus punya manajemebn logistik yang mumpuni untuk mengirim batang ke seluruh negara dengan biaya seefisien mungkin.
Hal ini mirip dengan Indonesia yang harus mendistribusikan barang secara efisien ke seluruh pelosok negeri.
Kyatmaja Lookman, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Barang Distribusi dan Logistik, menemukan fakta bahwa perbedaan mencolok antara Belanda dan Indonesia adalah sistem penyimpanan barang yang terintegrasi antara pelabuhan dan daratan.
“Artinya setiap ada penambahan kapasitas di pelabuhan harus dibangun serapannya di daratan secara terintegrasi. Tidak hanya sekedar bangun pelabuhan saja,” katanya setelah mengunjungi Belanda, belum lama ini.
Fakta lain adalah, jika dibandingkan dengan Indonesia, sejatinya biaya pengiriman di Belanda lebih mahal 2,5 kali lipat.
Kenyataannya, perfoma logistik negara itu tetap tinggi dan biaya logistiknta juga tetap rendah. Itu artinya sistem yang diterapkan di Belanda mampu meminimalisasi komponen biaya lain di luar biaya pengiriman.
Sebagaimana diketahui, biaya pengiriman hanya salah satu komponen dari biaya logistik. Selain itu, wajar jika pemerintah tengah menggenjot pembangunan infrastruktur agar arus barang bisa lancar dan menekan biaya logistik.
KEYAKINAN ALFI
Dalam rancangan pemerintah, sejumlah proyek seperti jalan tol dan pelabuhan ditargetkan tuntas paling lambat 2019. Namun, beberapa besarkan penurunan biaya logistik yang dicapai jika infrastruktur tersebut rampung?
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Fotwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi optimisti angka 19% bisa dicapai pada 2019 jika proyek infrastruktur penunjang berjalan lancar.
Namun, ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu menghilangkan ego sektoral para pelaku logsitik nasional.
“Kalau kita bergerak dengan infrastruktur [saat ini], biaya logistik bisa menjadi 21% pada tahun 2019. Tapi, kalau dengan bekerja keras bisa mencapai 19%,” katanya.
Pernyataan Yukki bukan tanpa dasar. Riset yang dilakukan ALFI menunjukkan perbandingan biaya logistik terhadap GDP pada 2017 sekitar 23,5%. Angka tersebut lebih baik dibandingkan pada 2013 yang sebesar 25,7%. Padahal, proyek infrastruktur belum semuanya rampung.
Zaroni, konsultan Senior Supply Chain Indonesia, punya prediksi lebih moderat. Dia memperkirakan sulit untuk melewati angka di bawah 20%. Sebab, selain ditunjang oleh infrastruktur, harmonisasi regulasi dan pemanfaatan teknologi informasi juga perlu ditingkatkan.
Wakil Ketua Kadin Bidang Logistik dan Rantai Pasok Rico Rustambi pernah mengatakan biaya logistik Indonesia yang tinggi amat disayangkan. Pasalnya, berdasarkan data Kadin kontribusi sektor logistik terhadap PDB mencapai 7,16%.
“Kontribusi sektor logistik sangat besar. Jadi kalau perbandingan biaya logistik terhadap PDB bisa ditekan sampai 20% saja akan sangta luar biasa,” ujarnya.
Namun, dia meminta pemerintah agar tak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur. Dia berharap pemerintah dapat mengindentifikasi infrastruktur mana saja yang punya korelasi terhadap penurunan biaya logistik.
Masalahnya, dari sekian banyak proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah belum ada yang secara spesifik ditujukan untuk logistik.
Menurutnya, biaya logistik bisa turun bukan hanya terkait dengan infrastruktur atau sumber daya manusia semata, tetapi harus ada platform yang disepakati.
Mengenai platform, pemerintah sebenarnya sudah punya sistem logistik nasional (Sislognas). Namun, implementasinya hingga belum dirasakan oleh pelaku usaha.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto menjelaskan pelaku logistik ingin Sislognas dijalankan sesuai dengan rancangan awal.
Namun, dia menilai pemerintah tak melakukan sosialisasi dengan maksimal. Akibatnya kebijakan pemerintah diartikan berbeda-beda oleh pemerintah daerah.
“Di lapangan pengusaha menghadapi masalah yang beda-beda padahal kulitnya tetap satu,” tegasnya.