Kahfi - Bisnis Indonesia, 11 Maret 2014
JAKARTA - Industri jasa logistik Indonesia diprediksi sulit bersaing di pasar Asia Tenggara saat implementasi Asean Economic Community (AEC) pada 2015, karena sebagian pelaku usaha di sektor ini masih dalam kondisi memprihatinkan.
Hingga kini, hanya terdapat sekitar lima perusahaan jasa logistik nasional yang siap bersaing di kawasan regional, di antaranya Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dan Kamadjaja Group.
Sementara itu, sebagaian besar perusahaan lainnya pada umumnya masih mengalami manusia manusia dan dukungan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengungkapkan dalam Logistics Performance Index (LPI) 2012, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara yang disurvei.
Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam, dan hanya unggul terhadap Myanmar dan Kamboja.
"Industri jasa logistik di Singapura dan Malaysia merupakan yang terkait di Asean karena didukung SDM andal dan teknologi informasi yang sangat memadai," ujarnya kepada Bisnis, (10/3).
Dengan kondisi tersebut, Zaldy memperkirakan akan banyak perusahaan jasa logistik nasional yang kalah bersaing, saat pemberlakuan pasar bebas regional dalam kerangka Asean Economic Community mulai tahun depan.
Selain itu, tidak tertutup kemungkinan akan banyak terjadi aksi akuisisi perusahaan logistik Indonesia oleh asing. "Oleh karena itu, pelaku jasa logistik nasional harus mulai memperkuat relasi, jaringan dan konektivitas di level regional maupun global sebagai upaya memperkuat daya saing," jelasnya.
Berdasarkan informasi ALI, saat ini jumlah perusahaan logistik di Indonesia mencapai sekitar 2.000 perusahaan dengan rentang nilai aset mulai Rp. 100 juta hingga Rp. 500 miliar, yang sebagian besar masih terkonsentrasi pada pasar domestik dan terfokus pada beberapa jenis komodiyas tertentu saja.
Dia menjelaskan selain minimnya tenaga ahli logistik dan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, masalah klasik yang dihadapi industri jasa logistik lokal adalah keterbatasan permodalan.
"Jadi, sebagian besar perusahaan jasa logistik di Indonesia belum siap menghadapi integrasi pasar Asean. Dengan minimnya infrastuktur dan regulasi yang kurang mendukung, biaya operasionalnya juga cenderung tinggi," terangnya.
DUKUNGAN FINANSIAL
Namun, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi berpendapat faktor permodalan bukanlah problem utama yang dihadapi industri logistik nasional. Meski demikian, dia berharap pemerintah memberikan dukungan finansial dengan mempermudah akses perbankan, di samping membantu peningkatan kualitas SDM agar sektor ini lebih siao menghadapi kompetisi di pasar regional.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui industri logistik nasional beroperasi tidak efisien yang terindikasi dari tingginya biaya logistik nasional.
"Tingkat biaya logistik di negara lain hanya 7% dari biaya produksi. Kita harus terus melakukan perbaikan. Kalau tidak, barang-barang kita yang baru keluar dai pabrik saja suah kalah murah sekitar 15%-20%," ujarnya,
Oleh karena itu, kata Hatta, pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur logistik dengan anggaran yang disiapkan mencapai 5% dari PDB. (Chamdan Purwoko).