Rinaldi M. Azka & Rio Sandy P, Bisnis Indonesia, Selasa 12 Maret 2019
Revolusi Industri 4.0 menjadi tema yang digaungkan hampir sepanjang 2018. Relevansinya pun terus bersambung hingga tahun ini. Salah satu yang paling hangat adalah implementasi perubahaan totalnya di sektor logistik Indonesia.
Selama ini, sektor logistik di Indonesia selalu dikambinghitamkan atas penyebab mahalnya harga juga suatu produk hingga rendahnya daya saing Indonesia di mata internasional.
Permasalahannya selalu sama, yaitu ongkos logistik yang mahal, karena rantai pasok yang panjang dan tidak efisien serta waktu tempuhnya sangat lama.
Baru-baru ini, Staf Khusus Menteri Perhubungan Bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi Wihana Kirana Jaya menyebutkan bahwa saat ini rerata biaya logistik di Indonesia mencapai 25% dari produk domestic bruto (PDB), lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia.
Biaya logistik dua negara tersebut mencapai 13% - 15% dari PDB. Makna rasio ini adalah semakin tinggi struktur biaya logistik terhadap porsi PDB menandakan biaya logistik di suatu negara makin tidak efisien. Artinya, logistik Indonesia masih kalah efisien.
Oleh karena itu, diperlukan upaya radikal dalam memperbaiki performa logistik Indonesia. Seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, pengusaha, asosiasi, maupun BUMN menyebut bahwa upaya radikal dalam Revolusi Industri 4.0 bagi sektor logistik itu adalah proses digitalisasi.
Sektor logistik pun perlahan-lahan mulai mengembangkan penggunaan Internet of Things (IoT), mahadata, sensor dan segala hal berbau kekinian yang diperkenalkan dalam revolusi industry jenis baru ini.
Pemerintah lebih dahulu mengembangkan Indonesia Nation Single Window (INSW) yang digadang-gadang menjadi platform integrasi digital di sektor logistik.
Sementara itu, para pelaku industri pun mulai mengembangkan digitalisasi di tubuhnya masing-masing. Demikian halnya dengan kalangan asosiasi.
Kita dapat menyebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjadi lembaga pemerintah yang paling depan mengembangkan digitalisasi, sementara asosiasi tentu Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) yang paling maju saat ini.
Namun, perlu diketahui, membangun Revolusi Industri 4.0 bukanlah sekadar penggunaan teknologi atau digitalisasi, karena automasi merupakan bagian dari Revolusi Industri 3.0. adapun, yang dibutuhkan dalam Revolusi Industri 4.0 adalah revolusi cara berpikir atau mindset.
Selama pola pikir belum berubah, Revolusi Industri 4.0 hanya akan mejadi tagline dan menggeser platform di luar jaringan menjadi di dalam jaringan IoT.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) mengakui menjadi cabang bisnis logistik yang sulit menerapkan digitalisasi.
Maklum, para pengemudinya bisa disebut gagap teknologi. Walhasil, upaya digitalisasi dengan platform yang dikembangkan belum membuahkan hasil positif. Ini yang terjadi ketika revolusi digital tidak dibarengi dengan perubahan pola pikir.
Kesadaran melek teknologi sudah digembar-gemborkan semua pemangku kepentingan di sini, tetapi, lagi-lagi, isu klasik seperti ego sektoral dan ketebukaan mengemuka. Belum lagi dengan tidak adanya standarisasi yang jelas di sektor ini. Padahal, dalam konteks berteknologi, standardisasi data menjadi hal mendasar yang dibutuhkan, seperti standarisasi dokumen dan standard operational procedure (SOP).
Ketiadaan standar inilah yang membuat Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita menyebutkan sebagai masalah besar logistik. Lalu, kepada siapa tanggung jawab masalah besar ini dituntaskan? Semua pihak telah bergerak dengan arahnya masing-masing, padahal tujuannya sama, efisiensi baik biaya maupun waktu.
Alatnya pun sama, teknologi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan lagi perkenalan terhadap alat, melainkan sebuah semangat kolaborasi untuk pencapaian yang lebih besar. Kecuali jika kita ingin menyaksikan revolusi digital di sektor logistuik berjalan setengah hati.