News Detail
Logistik Halal, Seberapa Prospektif?  

Puput Ady Sukarno & Sri Mas Sari, Bisnis Indonesia, Selasa 7 Januari 2020

Pernahkah terpikirkan oleh kaum Muslim bahwa makanan yang dikonsumsi sehari-hari selama ini, selain produknya harus halal, proses tersajinya makanan itu juga harus memenuhi proses yang dianjurkan oleh agama? 

Sepertinya belum semua orang berpikiran tentang itu. Rata-rata orang hanya melihat bahwa makanan halal itu asal tidak mengandung babi. Cukup dinyatakan telah lulus sertifikat halal oleh lembaga terkait, misalnya LPPOM MUI, selesai urusan.

Padahal, selain produknya halal, ada aspek lain yang juga harus terjamin kehalalannya, distribusinya dan sebagainya hingga makanan itu tersaji di meja makan kita.

Suatu produk disebut produk halal bila telah sesuai dengan Syariat Islam. Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikonsumsi. Dengan mengacu Syariat Islam, kriteria halal antara lain adalah halal zatnya, halal cara memperolehnya, serta halal cara pengolahannya.

 Kriteria ketiga tersebut mensyaratkan adanya proses produk halal, yang mencakup rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk, antara lain mulai dari penyedia bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.

Adapun dari lingkup rangkaian kegiatan tersebut, diperlukan suatu sistem rantai pasok yang menjamin proses produk halal, yakni logistik halal, seperti yang pernah disampaikan Konsultan Senior Supply Chain Indonesia (SCI) Zaroni, dalam portal resmi Supply Chain Indonesia.

Menurutnya, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kebutuhan akan produk halal di Indonesia tentu memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Data sensus penduduk 2010, sebanyak 87,18% dari 237,64 juta atau sebanyak 207,18 juta penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam.

Selain itu, lanjutnya, dalam beberapa tahun mendatang permintaan akan produk halal semakin meningkat. Hal itu tidak hanya populasi penduduk muslim di Indonesia yang besar dan kesadaran akan menjalankan ajaran agama semakin meningkat.

Namun, ini juga didorong oleh beberapa factor antara lain, pasar bebas, perdagangan lintas negara, dan peningkatan ekonomi halal di seluruh dunia. Oleh sebab itu, peningkatan permintaan produk halal yang semakin meningkat mendorong kebutuhan pentingnya logistik halal.

“Sebagai bagian dari manajemen rantai pasok produk halal, logistik halal berperan penting dalam proses penyimpanan transportasi, dan distribusi produk-produk halal ke konsumen,” tuturnya.

Mengingat begitu penting dan besarnya peluang peran industri logistik halal di Tanah Air, Zaroni bahkan telah menyuarakan pentingnya cetak biru pengembangannya itu sejak 2016.

Hal senada disampaikan Raden Didiet Rachmat Hidayat, pakar logistik halal dari Institut Transportasi dan Logistik Trisakti. Dia menilai bahwa peluang pertumbuhan industri logistik halal di Tanah Air sangat besar.

“Prinsipnya, logistik itu mengikuti barang. Kalau barangnya ada logistik jalan. Nah, sekarang dengan adanya mandatory produk halal alias semua oroduk wajib bersertifikat halal sesuai UU JPH yang tidak lagi sukarela seperti sebelumnya, maka ini jadi jaminan bahwa barangnya pasti ada,” ujarnya.

 

UU JPH

Sebelumnya, pemerintah melalui Undang-Undang No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang resmi berlaku sejak 17 Oktober 2019, menyatakan semua produk yang masuk dan beredar di seluruh wilayah Indonesia wajib bersertifikasi halal, dari yang sebelumnya hanya bersifat sukarela.

Terlebih, pada UU JPH tersebut juga berisi tentang proses awal hingga pengiriman barang sampai ke tangan konsumen harus terjamin kehalalannya.

Namun, dirinya melihat belum banyak pelaku usaha di Tanah Air yang banyak menggarap segmen logistik halal. “Padahal, logistik halal ini seperti logistik konvensional tetapi ada plus plusnya saja,” ujarnya.

Menurutnya, peluang emas ini jangan sampai disia-siakan, atau malah diambil oleh asing. “Saat ini sudah ada asing yang main di segmen ini, dari Singapura dan Jepang. Kalau Jepang dari Nippon Ekspress,” ujarnya.

Pihaknya optimistis industri logistik halal akan berkembang pesat 5 tahun ke depan seiring dengan mandatory produk halal yang dikeluarkan pemerintah melalui UU Jaminan Produk Halal.

Wakil ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman melihat saat ini masih belum banyak pelaku usaha yang bergerak di bidang logistik menggarap ceruk industri logistik halal.

Pasalnya, ujar dia, di Indonesia saat ini baru pada taraf penerapan halal yang melekat kepada produk, melalui sertifikasi halal, yang dikeluarkan oleh lembaga terkait.

“Sejauh yang saya tahu memang kita baru menerapkan halal saja, artinya melekat ke produknya, yakni sertifikasi itu. Kita belum bicara prosesnya atau toyyiban-nya belum,” ujarnya.

Namun begitu, saat ini sudah banyak pelaku usaha yang telah menggunakan kendaraan khusus, seperti truk berpendingin, agar tidak terkontaminasi material tertentu.

“Kalau kendaraan truk khususnya yang berisiko kontaminasi silang itu truk berpendingin. Barang kering biasanya ada 3 lapis kemasan. Kemasan dalam, kemasan produk dan kemasan dus,” ujarnya.

 

TIMBULKAN COST

Menurutnya, apabila kendaraan pengangkut produk halal tersebut juga harus bersertifikasi halal, bisa dipastikan bakal menimbulkan cost baru bagi pengusaha truk yang harus melakukan sertifikasi ke lembaga terkait.

“Pasti bisa membuat cost baru. Kita tahu sendiri, misalkan dipasar saja jualah daging digelar di udara terbuka alias konsep toyib-nya masih belum masuk. Jadi prasarananya masih diperlukan banyak dan edukasi ke publik juga penting,” ujarnya.

Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi mengatakan pengembangan logistik halal perlu dibuat dengan melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah, produsen, penyedia jasa logistik, dan lembaga sertifikasi terkait.

Menurutnya, logistik halal selama ini memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya itu juga terkait dengan permintaan dari masyarakat atau konsumen bahwa logistik halal tidak menjadi suatu keharusan atau kebutuhan.

Hal itu berbeda ketika negara yang mayoritas nonmuslim mengirimkan barangnya ke negara yang mayoritas muslim sehingga mereka telah menetapkan kebutuhan logistik halal.

Saat ini, lanjutnya, kondisi kehalalan di Indonesia lebih mengarah kepada konten kandungan suatu makanan atau bahan tertentu, belum menyentuh kepada logistik halal bahwa proses produk itu sampai kepada konsumen secara halal pula.

Menurutnya, saat ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum banyak melakukan sertifikasi halal terhadap sektor logistik karena kebutuhan tersebut belum menjadi suatu keharusan.

“Masih banyak pelaku usaha melihanya itu sebagai value added saja dan berdasarkan pemintaan konsumen semata.”

Sementara itu, Indonesia sudah mengatur logistik halal melalui Undang-Undang (UU) No. 33/2014 berisi tentang proses awal hingga pengiriman barang sampai ke tangan konsumen terjamin halal.

Asosiasi Logistik Indonesia berpendapat logistik halal bisa mengerek biaya logistik di Tanah Air jika seluruh lini proses distribusi harus disertifikasi halal.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan sertifikasi halal biasanya membutuhkan biaya tambahan.

“Hampir semua perusahaan logistik di Indonesia yang meng-handle bahan makanan sebenarnya sudah menjalankan logistik halal,” katanya.

Menurut dia, justru yang diperlukan Indonesia adalah standar logistik untuk produk nonhalal karena secara umum makanan yang beredar di Indonesia sudah halal.

Coca Cola atau Teh Sosro misalnya, tidak memerlukan sertifikasi logsitik halal karena produknya sudah disertifikasi halal. Singkatnya, yang menbutuhkan sertifikasi halal adalah logistik untuk makanan nonhalal.

“Handling logistiknya yang perlu dipisah kalau ada nonhalalnya. Kalau yang di-handle sudah produk halal semua, enggak perlu,” ujar Zaldy.

Kendati demikian, lanjut dia, selama kemasan aman atau tidak bocor, serta tidak mengeluarkan bau, peralatan yang digunakan untuk menangani produk halal dan nonhalal bisa sama. Hanya, tempat penyimpanan di dalam gudang perlu dipisah.

Zaldy menjelaskan logistik halal biasanya diterapkan di negara yang mayoritas penduduknya non-muslim untuk ekspor produk ke negara berpenduduk mayoritas muslim. Sebaliknya, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia tidak perlu menerapkan metode itu.

Tentang beberapa perusahaan penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia untuk menangkap peluang bisnis logistik halal, Zaldy mengaku tidak khawatir. Menurutnya, Nippon Ekspress misalnya, memang membutuhkan logistik halal untuk memudahkan impor produk makanan dari Jepang ke Indonesia.


Back to List

25 Mar 2024

KAI Logistik Perluas Jangkauan Pengiriman hingga ke Kalimantan

Sakina Rakhma Diah Setiawan, Kompas.com, Sabtu 23 Maret 2024

18 Mar 2024

Larangan Angkutan Logistik Saat Libur Hari Besar Keagamaan Munculkan Masalah Baru

Anto Kurniawan, Sindonews.com, Minggu 17 Maret 2024

18 Mar 2024

Kemendag Dorong Relaksasi Pembatasan Angkutan Logistik Saat Hari Raya

Mohamad Nur Asikin, Jawapos.com, Sabtu 16 Maret 2024

08 Mar 2024

Dirjen SDPPI: Hadirnya gudang pintar 5G pecut industri berinovasi

Fathur Rochman, Antaranews.com, Kamis 7 Maret 2024

07 Mar 2024

Jurus Kemenhub Tekan Ongkos Biaya Logistik Supaya Makin Murah

Retno Ayuningrum, Detik.com, Rabu 6 Maret 2024

07 Mar 2024

Transformasi Digital Pelabuhan Dorong Peningkatan Efisiensi Biaya Logistik

Antara, Republika.co.id, Rabu 6 Maret 2024

Copyright © 2015 Asosiasi Logistik Indonesia. All Rights Reserved