Redaksi, Sinarharapan.net, Rabu 14 September 2022
SHNet, Jakarta-Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Mahendra Rianto, meminta agar pemerintah memikirkan kembali rencananya yang akan menerapkan pelaksanaan kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) pada awal tahun 2023 mendatang. Dia berharap kebijakan ini bisa diundur mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini masih belum stabil.
”Dari sisi ekonomi domestiknya kan harus juga dipertahankan supaya daya beli tetap ada dan masyarakat bawah itu bisa survive. Seharusnya itu dulu yang harus dibenahi sebelum kebijakan Zero ODOL itu diterapkan,” ujarnya.
Karenanya, dia meminta agar pemerintah mau sedikit bertoleransi untuk memundurkan waktu pelaksanaan kebijakan Zero ODOL ini pada awal tahun depan. “Pemerintah pusat saja dengan kenaikan BBM saat ini harus menghadapi demo-demo di mana-mana. Jadi, seharusnya jangan menambah keruh lagi situasinya dengan menerapkan kebijakan Zero ODOL. Tundalah, dan mari berpikir bijak,” ucap Mahendra.
Dia juga mempertanyakan apa sebenarnya yang menjadi masalah utama hingga kebijakan Zero ODOL ini ingin diterapkan secara terburu-buru. “Ada yang bilang itu karena emisi gas buang dari truk-truk ODOL itu tinggi. Tapi, yang ribut-ribut emisi karbonnya tinggi itu kan ada di Jabodetabek saja yang hanya merupakan daerah kecil di Indonesia,” katanya.
Selain itu, jika alasannya bahwa truk ODOL itu banyak merusak jalan, menurut Mahendra, pemerintah seharusnya memperkuat daya tahan jalannya agar tidak menambah biaya perbaikan setiap tahunnya. “Jadi, kenapa kebijakan Zero ODOL ini mau dipaksakan?” tukasnya.
Kalau kebijakan Zero ODOL ini karena merupakan bagian dari implementasi dari Undang-Undang atau peraturan pemerintah, menurut Mahendra, itu juga bisa dipertimbangkan waktu pelaksanaannya mengingat situasi saat ini yang berubah-berubah. “Kan tidak ada satu pun yang tahu kapan pandemi Covid-19 datang, kapan harga minyak dunia naik. Siapa yang tau juga akan terjadi perang antara Rusia dan Ukraina. Jadi dunia sekarang ini ini situasi VUCA atau Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambiguity (tidak jelas),” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa kebijakan Zero ODOL ini jelas akan menaikkan biaya logistik. Padahal, menurutnya, keberadaan truk-truk ODOL justru bertujuan untuk menurunkan biaya per kilogram muatannya agar menjadi lebih murah. “Tapi, kalau truknya diperpendek, yang tadinya kapasitasnya 15 ton menjadi 10 ton, itu bisa menambah biaya hingga 30-40 persen. Kalau itu naik akan ongkos produksinya juga naik dan otomatis akan mendorong harga barang. Kalau harga barang naik, daya saing eskpornya juga pasti akan menurun,” tuturnya.
Jadi, dia meminta agar hal-hal yang menyebabkan naiknya biaya logistik itu sebisanya dihindarkan. Menurutnya, kebijakan Zero ODOL itu harus ada dasarnya kenapa harus diterapkan dan harus tepat waktunya agar tidak berdampak terhadap ekonomi juga. “Jadi, lebih baik kan kita tunda sebentar ketimbang terburu-buru tapi berdampak terhadap perekonomian kita. Kalau kita memaksakan Zero ODOL ini, berarti kita part of problem dalam situasi yang berubah-ubah saat ini. Lebih baik kita konsennya kepada bagaimana ekonomi Indonesia ini bisa bangkit dulu,” katanya.
Mahendra menilai harus ada sejumlah penataan terutama pada sektor transportasi yang memiliki porsi biaya hingga 9 persen terhadap 23 persen biaya logistik keseluruhan. Pertama, penataan terhadap pungutan liar atau pungli. Menurutnya, saat ini masih ada pungli yang meresahkan pelaku jasa angkutan barang dan akhirnya menambah biaya operasional. “Pertama tolong beresin pungli karena itu intangible cost atau tidak bisa dilihat. Kita itu di jalan dicegat dan dikasih sticker tidak resmi di truk. Jadi itu yang harus diberesi,” ujarnya.
Kedua, kewajiban penggunaan kendaraan berbahan bakar standar Euro4 dinilai sulit diterapkan karena pengusaha otomatis harus membeli kendaraan baru. Sementara itu, biaya investasi kendaraan baru berstandar emisi Euro4 masih mahal dan sulit untuk mendapatkan kredit pembiayaan dengan tenor jangka panjang. “Terus soal DP-nya. Saat pandemi, pemerintah bikin relaksasi DP 0 persen buat mobil baru dan properti. Kenapa mobil logistik gak bisa?,” tukasnya.
Untuk itu, Mahendra lebih menilai konversi ke truk listrik akan lebih efisien karena tidak perlu membeli kendaraan baru. Dia juga menyebut biaya investasi yang dibutuhkan dalam jangka panjang akan lebih murah. Ketiga, masalah kendaraan sarat muatan. “Jadi, menurut saya, tidak seharusnya pemerintah hanya menindak pengemudi atau pengusaha truk dalam masalah kendaraan ODOL,” katanya.
Sumber:
https://www.sinarharapan.net/asosiasi-logistik-indonesia-menilai-pemaksaan-kebijakan-zero-odol-bagian-dari-masalah/