News Detail
Kinerja Logistik Masih Payah

Ardhanareswari, Gloria F.K. Lawi & Hadijah Alaydrus, Bisnis Indonesia, Kamis 30 Juni 2016

JAKARTA – Perlemahan performa logistik Indonesia membuat daya saing produk berorientasi ekspor Tanah Air kian tergerus di pasar global.

 

Hasil Indeks Logistik Global atau Logistics Performance Index (LPI) 2016 yang dirilis Bank Dunia menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-63 dari 160 negara yang dipantau, dengan skor 2,98.

 

Baik capaian skor maupun peringkat Indonesia dalam LPI turun dibandingkan dengan tahun 2014 saat skor Indonesia mencapai 3,08 dan bertengger di peringkat ke-53.

 

Sementara itu, di Asean, untuk tahun 2016 Indonesia berada di posisi ke-4 setelah Singapura, Malaysia, dan Thailand tetapi dengan jarak skor yang cukup jauh.

 

Adapun dalam perhitungan LPI, World Bank memperhatikan enam komponen a.l. bea dan cukai, infrastruktur, pengiriman barang internasional, kualitas dan kompetensi logistik, pencarian barang, dan ketepatan waktu.

 

Jika dibandingkan dengan LPI 2014, skor penilaian bea cukai kita mengalami penurunan dari 2,87 menjadi 2,69. Padahal pemerintah Indonesia diketahui tengah gencar mendorong implementasi Indonesia National Single Window dan Single Risk Management System.

 

Sementara itu, dari aspek penilaian infrastruktur, Indonesia juga mengalami penurunan skor dari 2,92 menjadi 2,65. Di antara penurunan tersebut, hanya skor pengiriman barang internasional dan pencarian barang yang mengalami kenaikan masing-masing menjadi 2,90 dan 3,19 dari 2,87 dan 3,11 pada dua tahun lalu.

 

Dengan demikian, secara rating hampir semua komponen mengalami penurunan, kecuali pengiriman internasional dan pencarian barang.

 

Penilaian atas kondisi infrastruktur Indonesia tersebut sesuai The Global Competitiveness Report pada 2014-2015 yang dikeluarkan World Economic Forum. Laporan tersebut menyatakan kekalahan Indonesia dibandingkan dengan sejumlah Negara di Asia Tenggara, misalnya Malaysia, Indonesia mendapatkan peringkat 72 dengan skor 4,2 sementara Malaysia mendapatkan peringkat 20 dengan skor 5,6.

 

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai kondisi ini sangat berpengaruh terhadap ekspor nasional. “Ini bukan hanya kepada ekspor saja. Ekspor kita berbiaya tinggi dan ketidakpastian juga tinggi,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (29/6).

 

Dia menjabarkan biaya logistik yang tinggi mempengaruhi harga produk ekspor asal Indonesia. Pasalnya, komponen biaya logistik terhadap total harga tergolong sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain di kawasan. CSIS mencatat rentang komponen biaya logistik di Indonesia, mencapai 15% - 40% terhadap harga produk.

 

Besarnya komponen biaya logistik itu, lanjut Yose, membuat harga produk nasional kurang bersaing. Sementara negara lain, di Vietnam misalnya biaya logistik masih berada di bawah kisaran 20% terhadap total harga dan ongkos produksi. Malaysia jauh lebih baik dengan komponen biaya logistik hanya sekitar 11%.

 

Pada saat yang sama, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan tren penurunan ekspor dan impor dalam lima tahun terakhir. Sepanjang Januari-Mei tahun ini ekspor maupun impor Indonesia tercatat mencapai nilai terendah sejak 2012.

 

Di sisi lain, dari segi industri secara keseluruhan, CSIS menilai ketidakpastian rantai logistik dalam negeri juga meningkat. Alhasil produsen sulit mengkalkulasi dan mengelola bahan baku, terlebih jika bahan baku atau barang penolong produksi harus diimpor.

 

Kondisi ini juga membuat Indonesia kesulitan memaksimalkan partisipasinya dalam rantai pasok global atau global supply chain (GSC) dan rantai nilai global atau global value chain (GVC). Padahal, besar-kecilnya keterlibatan suatu Negara dalam GSC dan GVC akan sangat menentukan daya saing produk ekspornya, terutama produk ekspornya, terutama produk manufaktur bernilai tambah tinggi, seperti elektronik.

 

Alhasil, upaya RI untuk menjadi salah satu negara manufaktur di Asean bakal tersedat jika logistik tak kunjung membaik. Apalagi, Bank Dunia, dalam salah satu laporannya juga sudah mewanti-wanti peran Indonesia dalam sektor manufaktur dunia tidak banyak berubah dalam 15 tahun terakhir, yakni berkembang hanya kisaran 0,6%.

 

Pada saat bersamaan, harga komoditas, yang menjadi andalan utama ekspor domestik, tak kunjung pulih. Karena itu, Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop mendesak Indonesia untuk secara pelahan menghilangkan ketergantungannya pada impor barang jadi dengan cara memperkuat industri dalam negeri.

 

Saat ini, menurut Diop ekspor manufaktur Indonesia masih didominasi oleh produk teknologi rendah, peleburan materi (blending) dan perakitan. Akibatnya, Indonesia rentan terhadap perpindahan lokasi perusahaan-perusahaan multi-nasional.

 

Dia menegaskan, kebijakn deregulasi melalui 12 Paket Kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah, akan berjalan maksimal apabila pemerintah mengimbanginya dengan pengembangan sektor manufaktur secara maksimal.

 

MAKIN MAHAL

Secara terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menilai selama ini belum ada upaya konkret pemerintah yang berdampak pada penginkatan daya siang ekspor, salah satunya dengan mengurangi biaya logistik.

 

“Belum sama sekali malah kadang membuat biaya logistik semakin mahal. Pengaruh terhadap daya saing ekspor juga pasti ada karena biaya logistic adalah komponen yang selalu ada mulai dari biaya bahan baku sampai dengan biaya mengirimkan barang jadi,” jelas Benny.

 

Dia memerinci, kontribusi biaya logistik juga tak semata-mata hanya pada pengangkutan, baik udara, darat, maupun laut tetapi juga biaya pergudangan atau penyimpanannya serta asuransi pengangkutan.

 

Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia mengaku prihatin dengan hasil penilaian Indonesia, sementara India, Kenya, Arab justru mengalami kenaikan.

 

“Berarti reformasi logistik mereka berhasil, sementara kita mundur. Analogi logistic itu darah dalam ekonomi. Logistik itu pelumas dalam mesin ekonomi. Ketika pelumas jelek, maka mesin tidak akan optimal, demikian juga darahnya,” tegas Kyatmaja Lookman, Wakil Ketua Aptrindo bidang Distribusi dan Logistik kepada Bisnis, Rabu (29/6).

 

Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku akan mempelajari terlebih dahulu laporan Bank Dunia tersebut. Namun, dia menekankan, pemerintah saat ini sedang  fokus untuk menuntaskan Paket Kebijakan I-XII yang dinilai bisa menurunan biaya logistik dan memperlancar arus barang.

 

“Itu belum selesai. Dari 26 aturan, sembilan sudah selesai dan 17 lagi belum,” tuturnya. (Yustinus Andri/Arys Aditya).


Back to List

25 Mar 2024

KAI Logistik Perluas Jangkauan Pengiriman hingga ke Kalimantan

Sakina Rakhma Diah Setiawan, Kompas.com, Sabtu 23 Maret 2024

18 Mar 2024

Larangan Angkutan Logistik Saat Libur Hari Besar Keagamaan Munculkan Masalah Baru

Anto Kurniawan, Sindonews.com, Minggu 17 Maret 2024

18 Mar 2024

Kemendag Dorong Relaksasi Pembatasan Angkutan Logistik Saat Hari Raya

Mohamad Nur Asikin, Jawapos.com, Sabtu 16 Maret 2024

08 Mar 2024

Dirjen SDPPI: Hadirnya gudang pintar 5G pecut industri berinovasi

Fathur Rochman, Antaranews.com, Kamis 7 Maret 2024

07 Mar 2024

Jurus Kemenhub Tekan Ongkos Biaya Logistik Supaya Makin Murah

Retno Ayuningrum, Detik.com, Rabu 6 Maret 2024

07 Mar 2024

Transformasi Digital Pelabuhan Dorong Peningkatan Efisiensi Biaya Logistik

Antara, Republika.co.id, Rabu 6 Maret 2024

Copyright © 2015 Asosiasi Logistik Indonesia. All Rights Reserved