redaksi
JAKARTA – Pemilik barang di Pelabuhan Tanjung Priok mendesak penghentian penggunaan alat bongkar muat di darat jenis gantry lufting crane (GLC) di dermaga 115 dan 115. Penggunaan alat tersebut dinilai cenderung menyebabkan biaya tinggi.
Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengatakan sejak awal pihaknya sudah mengingatkan kepada Pelindo II Tanjung Priok bahwa GLC tidak cocok digunakan untuk mempercepat aktivitas bongkar muat. Alat itu lebih cocok digunakan untuk kegiatan pertambangan atau untuk bongkar muat curah kering atau scrap.
“GINSI DKI Jakarta sudah menyampaikan permintaan kepada manajemen Pelabuhan Tanjung Priok untuk menghentikan penggunaan alat bongkar muat jenis GLC, tetapi hingga saat ini belum di respons,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (20/11).
Menurut dia, alat ini tidak cocok dipakai untuk penanganan cargo break bulk (general cargo) apalagi untuk petikemas, karena sangat lambat, bahkan sama dengan shore crane, padahal harganya mahal,” tuturnya.
Oleh karenanya, ujar Subandi, Surat Edaran Direksi Pelindo II yang mewajibkan kapal-kapal yang sandar di dermaga 114 dan 115 pelabuhan Priok, dimana alat GLC digunakan, merupakan bentuk pemaksaan, apalagi jika biaya penggunaan GLC dibebankan kepada pemilik barang.
Dia menegaskan pemilik barang tidak butuh alat GLC karena kapal pengangkutnya dilengkapi alat bongkar muat seperti Ships Crane atau Boom Crane, terlebih tarif GLC tidak memiliki dasar hukum karena tidak ada kesepakatannya antara penyedia dan pengguna jasa.
Dirut PT. Pelabuhan Tanjung Priok, Arif Suhartono yang dikonfirmasi Bisnis, belum bersedia menanggapi keluhan GINSI tersebut.