Gloria Fransisca K. Lawi, Bisnis Indonesia, Rabu 3 Mei 2017
Reformasi birokrasi untuk menata logistik Indonesia masih sulit dilakukan karena belum ada kesepahaman setiap kementerian dan lembaga dalam mengurus rantai pasokan.
Wigyo Kasubdot Angkutan Laut Luar Negeri Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerin Perhubungan, mengatakan salah satu hal penting dalam efisiensi biaya logistik adalah kematangan perencanaan distribusi setelah barang dibongkar di pelabuhan.
Berdasarkan evaluasi, sumbangan transportasi laut untuk biaya logistik mencapai 22%, sedang 70% sisanya adalah biaya di pelabuhan khususnya terkait dengan distribusi barang masuk dan keluar pelabuhan.
Kemenhub telah mengeluarkan aturan tarif progresif penumpukan barang di pelabuhan untuk memaksa pemilik barang segera mengelurkan barangnya jika melampaui masa 3 hari.
Menyadari beratnya tugas mengefisiensikan biaya logistik, Kemenhub merancang sistem tata kelola transportasi multimoda.
Saat ini, Kemenhub memperkuat sistem logistik dengan menggalang proyek Rumah Kita khususnya pada daerah yang pelabuhannya masih tertinggal.
“Namun di [Kementerian] Perhubungan memang belum ada setingkat eselon I yang mengurus masalah logistik,” tuturnya dalam sebuah diskusi di Lembaga Administrasi Negara (LAN), Rabu (26/4).
Edy Putra Irawady, Deputi Bidang Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan pemerintah sangat peduli menurunkan biaya logistik dengan menyusun perancangan distribusi khususnya di daerah tertinggal.
Dia tak menampik biaya logistik di Indonesia masih berkisar 23% - 24% dari produk domestic bruto (PDB). Dia juga mengamini bahwa biaya tertinggi logistik berada di pelabuhan.
Sejauh ini, ada tiga kementerian teknis yang mengawasi area pelabuhan yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perhubungan. Menurutnya, tidak ada kesepahaman para birokrat yang mengawasi pelabuhan terkait dengan arus barang.
“Ini yang menjadi tantangan, birokrat menguasai teknologi dalam distribusi ke luar negeri. Pemahaman soal distribusi itu akan membuat Indonesia berdaya saing lebih di tingkat regional.
“Kita inginkan ada satu direktorat jenderal sendiri soal logistik menyangkut laut, udara, dan truk,” sambungnya.
LEMPARAN KEBIJAKAN
Edy berharap LAN bisa membekali para pegawi pemerintahan dengan ilmu perihal logistik. Selama ini, reformasi birokrasi sektor logistik belum berjalan dengan baik sehingga masih ada lempar kebijakan yang menghambat penurunan biaya logistik, termasuk penurunan waktu inap barang atau dwelling time.
Dia mencontohkan Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok yang mengawasi dwelling time merupakan pejabat eselon IIIB, sementara Kepala Bea dan Cukai serta Syahbandar masih IIA. “Mana berani dia perintah-perintah. Jadi kalau sekarang kan masih lempar-lempar, gimana ya, itu masih di Karantina, masih di Syahbandar, ini jeleknya kita, budaya pangkat,” jelasnya.
Harris Faozan, Kepala Pusat Kajian Reformasi Administrasi LAN, menilai harus ada kepekaan ilmu bagi setiap pegawai pemerintahan untuk menjawab tantangan global.
Menurutnya, kepekaan ilmu itu bukan hanya soal logistik tetapi juga memahami proses bisnis. “Belum ada instansi pemerintah yang lain dan ini yang harus dipikirkan, bisnis prosesnya itu hasilnya harus tetap terlihat,” jelansya.
Selain ilmu logistik dan memahami proses bisnis, dia menambahkan pemanfaatan teknologi juga penting agar para birokrat bisa mengenal pihak lain mengawasi arus logistik dengan optimal.