Redaksi, Bisnis Indonesia, Rabu 10 Mei 2017
JAKARTA – Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, menyatakan telah melakukan koordinasi dengan para stakeholders untuk mengantisipasi rencana mogok kerja di Jakarta International Container Terminal (JICT) pada 15-20 Mei 2017.
Kepala KPU Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Fajar Doni mengatakan, Jika mogok JICT terjadi, pihaknya sudah menyiapkan langkah antisipasi yakni salah satunya adalah menggeser pelayanan kapal JICT ke sejumlah terminal lain atau tempat penimbunan sementara (TPS) lini satu yang lain di Pelabuhan Priok.
“Beberapa skema terus kami simulasikan. Dengan adanya pemogokan pasti akan berpengaruh terhadap kenaikan Dwelling Time jika kami tidak melakukan langkah-langkah antisipasi. Makanya kami berharap mogok tidak terjadi demi kepentingan nasional,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (9/5).
Saat ini, terdapat lima fasilitas terminal peti kemas yang melayani kegiatan ekspor impor di kawasan pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, yakni; Terminal JICT, Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal 3 Pelabuhan Priok, serta New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).
Fajar mengemukakan, antisipasi mogok JICT perlu dilakukan mengingat kapal yang akan masuk sudah mengikuti jadwal dan harus digeser ke terminal maupun TPS Lini 1 lainnya. “Oleh karena itu TPS lini 1 lainnya perlu menyiapkan sarana dan prasarana serta SDM yang dibutuhkan,” ujarnya.
Sementara itu, sekitar 800 pekerja pelabuhan yang tergabung salam Federasi Pekerja Pelabuhan Indonesia (FPPI) dan Serikat Pekerja PT. Jakarta International Container Terminal (SP JICT) melakukan aksi di depan kantor Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dikawasan Rasuna Said Kuningan Jakarta, pada selasa (9/5).
Para pekerja pelabuhan itu bergerak sejak pagi hari dari pelataran parkir kantor JICT dengan menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi. Aksi demontrasi FPPI itu untuk mendorong pengusutan kasus perpanjangan kontrak JICT kepada investor Hong Kong, Hutchison Port Indonesia (HPI).
“Kami minta KPK usut tuntas soal perpanjangan kontrak JICT itu mengingat telah terang benderang terpenuhi unsur korupsinya,” ujar Sekjen FPPI yang juga Ketua Umum SPJICT, Nova Sofyan Hakim, dalam orasinya di gedung KPK, Selasa (9/5).
Dari hasil audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) No. 48/Auditama VII/PDTT/12 /2015 menemukan fakta pelanggaran hukum dan kerugian negara. Bahwa perpanjangan JICT melanggar Undang-Undang dan dilaksanakan tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Menteri BUMN.
“Negara juga dirugikan US$ 50 juta akibat tidak optimalnya uang muka perpanjangan oleh Hutchison.”
Bahkan, imbuhnya, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan dokumen RUPS JICT, 7 Juli 2015, saham Pelindo II belum mayoritas (51%) sebagaiman disyaratkan Menteri BUMN jika ingin melakukan perpanjangan kontrak JICT.
“Lebih jauh Panitia Khusus Angket DPR-RI tentang Pelindo II telah merekomendasikan pembatalan kontrak JICT akibat pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negara yang mencapai Rp. 36 triliun,” tegas Nova. (K1)