Rivki Maulana, Bisnis Indonesia, Selasa 29 Agustus 2017
Memercik air di dulang. Itulah yang dilakukan Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dengan dugaan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tonny yang gemar menghimbau anak buahnya untuk tidak melakukan pungutan liar (pungli) justru diciduk KPK dengan barang bukti uang tunai puluhan miliar rupiah.
Barang bukti itu disebut yang terbesar sepanjang operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Memalukan, tentu saja. Korps Kemenhub mendapatkan tamparan keras dari praktik yang dilakukan Tonny. Penahanan terhadap pejabat eselon I di Kemenhub hanya selang 18 bulan selepas penahanan Bobby Reynold Mamahit. Bobby saat itu juga menjabat Dirjen Perhubungan Laut kendati kasus hukum yang menyangkut dirinya berkaitan dengan posisi dia sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan.
Tonny memang belum divonis. Namun, pria yang dikenal ramah dan murah senyum di kalangan pegawai Kemenhub itu telah mengakui perbuatannya. Dia mengatakan uang yang dia terima merupakan ucapan terima kasih atas kinerja dirinya memberantas mafia dalam proses tender proyek di Kemenhub.
Barangkali Anda tergelitik mendengar pengakuan Tonny yang rasanya buruk muka cermin di belah. Terlebih dia menyatakan uang terima kasih itu juga dibagikan untuk kegiatan sosial.
Di lain pihak, penahanan Tonny membuat Kemenhub gusar. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bakal melakukan pengawasan lebih ketat dan tidak ingin kecolongan lagi.
Sebelum kasus Tonny, Kemenhub memang beberapa kali kecolongan. Pada Oktober 2016, dua pegawai Kemenhub terjaring operasi tangkap tangan yang digelar Mabes Polri. Kendati barang bukti terbilang kecil, praktik pungli di Medan Merdeka Barat lokasi kantor Kemenhub membuat geram Presiden Joko Widodo.
Kasus hukum yang menimpa Tonny di sisi lain seakan bertolak dengan upaya Kemenhub untuk menekan biaya logistik. Praktik suap sudah jelas menodai tata kelola yang baik (good corporate governance) walaupun dibungkus dengan ucapan terima kasih. Tentu tidak ada makan siang gratis, kan?
Praktik suap di sisi lain juga menambah biaya yaitu biaya siluman yang tak kasat mata tapi terasa adanya. Dalam perhitungan Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI), biaya logistik Indonesia terhadap (PDB) memang turun dari 25,7% pada 2013 menjadi 23,5% pada tahun ini. Meski demikian persentase itu masih lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara.
Di antara beragam alasan yang menghambat kinerja logsitik Tanah Air, korupsi juga menjadi salah satunya. Hal itu terungkap dalam laporan bersama perusahaaan riset Transport Intelligence dan perusahaan logistik Agility bertajuk Emerging Markets Logistic Index 2016.
Dalam laporan itu, indeks logistik Indonesia turun tiga peringkat dibandingkan posisi 2015. Indeks logistik Indonesia tercatat 6,36 atau berada di urutan ketujuh dari 45 negara berkembang yang disurvei.
Sudah menjadi pengetahuan umum, korupsi merupakan bahaya laten yang selalu gentayangan di setiap zaman. Kemenhub perlu bekerja ekstra keras untuk menumpas penyakit korupsi yang menggerogoti integritas pegawainya.
Upaya Kemenhub menggandeng KPK dalam pendamping proyek strategis nasional patut diapresiasi. Selama ini, pengawasan internal di Kemenhub tak kuasa mencegah tindakan nakal pejabat tinggi. Program prioritas seperti Tol Laut perlu juga mendapatkan pendampingan dari pihak ketiga, seperti KPK dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Semakin banyak mata yang mengawasi dan pemeriksaan berlapis, peluang praktik korupsi seyogyanya semakin kecil. Seperti kata Bang Napi, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku, tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah!