Rmol.co, Selasa 19 September 2017
RMOL. Pengusaha logistik meminta Bank Indonesia membatalkan rencana pengenaan biaya isi ulang uang elektronik (e-money), khususnya e-toll. Kebijakan tersebut menambah beban pengusaha. Bisnis logistik semakin berat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengatakan, pengenaan biaya isi ulang e-money tidaklah tepat. Sebab, pengenaan biaya isi ulang akan membebani konsumen. Apalagi, tujuan e-money untuk efisiensi. "Kenapa harus dibebani hal-hal lain," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, adanya pungutan atau biaya pengisian ulang uang elektronik baru bisa dilakukan setelah masyarakat sudah terbiasa menggunakan uang eletronik. Justru pemerintah seharusnya memberikan berbagai kemudahan dan promosi menarik kepada masyarakat agar mau menggunakan e-money.
"Justru harus diberikan promosi yang menarik bukan malah dibebankan," ujarnya.
Hal senada dikatakan oleh Wakil Ketua Aptrindo Kyatmaja Lookman. Menurut dia, sebaiknya Bank Sentral membatalkan pengenaan biaya untuk isi ulang e-money. Selaku pengusaha logistik, dia sangat keberatan. "Dengan adanya biaya pungutan maka beban juga akan bertambah," katanya.
Dia menilai, rencana pengenaan biaya isi ulang sebesar Rp 2000 setiap kali transaksi sangat memberatkan pengusaha. Meski sepintas terlihat kecil, tapi jika sering dan jumlah kendaraan yang diisi banyak maka angka tersebut akan terasa berat.
Menurut dia, biaya tersebut nantinya akan dibebankan kepada pengguna atau mitra dari perusahaan logistik. Dengan kata lain, biaya pengiriman bisa saja dinaikkan. "Muncul biaya top up bisa saja membuat bertambahnya mahal biaya transportasi angkutan barang makin mahal," ujar Kyatmaja.
Lebih jauh, Kyatmaja meminta pengenaan biaya administrasi nggak usah diberlakukan karena fasilitas yang dirasakan juga tak sesuai harapan. Salah satunya seperti infrastruktur pendukung yang belum siap. "Misalnya untuk mengisi ulang e-money, kalau habis, supir-supir mau bagaimana mengisinya," terangnya.
Melihat kondisi ini seharusnya pemerintah memberikan berbagai kemudahan serta dukungan kepada pengguna jalan tol bukan malah bikin aturan baru dengan memungut bayaran.
Diakui transaksi elektronik di gerbang tol memang mampu mengurangi kemacetan dibanding pembayaran tunai. Namun kemacetan juga bisa terjadi bahkan lebih buruk jika transaksi tak berjalan lancar.
Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan rencana tersebut merugikan pengusaha logistik yang mengandalkan truk untuk mengirim barang. "Pastinya akan berdampak pada biaya logistik khususnya moda transportasi darat yang melalui jalan tol," katanya.
Menurut dia, bank penerbit semestinya tidak mencari keuntungan dari kebijakan yang mewajibkan pembayaran tol secara elektronik. Bank disarankan untuk mengutamakan pelayanan terlebih dahulu. Apalagi, belum semua bank yang e-money bisa dipakai untuk membayar tol.
Dia prihatin, dengan adanya rencana tersebut karena pengusaha menjadi korban. Padahal masih ada isu tenaga kerja. "Ini kok malah ada yang mau mengambil keuntungan," imbuhnya.
Untuk diketahui, per 31 Oktober mendatang semua kendaraan yang melalui jalan tol wajib membayar menggunakan e-money. Bank Indonesia sudah menyetujui rencana bank penerbit untuk menarik biaya tiap kali isi ulang e-money. Aturannya diperkirakan rilis akhir bulan ini.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memastikan peraturan anggota dewan gubernur pemungutan biaya isi saldo e-money perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017. Saat ini aturan biaya isi ulang uang elektronik masih dalam tahap finalisasi Bank Indonesia.
"Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen," kata Agus. ***
Sumber:
http://ekbis.rmol.co/read/2017/09/19/307675/Bisnis-Logistik-Makin-Berat-