Redaksi, Bisnis Indonesia, Selasa 3 Oktober 2017
JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia mengusulkan ongkos bongkar muat di kargo nonkontainer di dermaga konvensional Pelabuhan Tanjung Priok diperpanjang hingga 6 bulan mendatang.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (APBMI) usulan itu mengacu masa berlaku ongkos bongkar muat kargo kargo nonkontainer atau sering disebut Ongkos Pelabuhan Pemuatan dan Ongkos Pelabuhan Tujuan (OPP/OPT) di Tanjung Priok sudah kedarluwarsa.
“Evaluasinya cukup dengan cara memperpanjang masa berlaku tariff OPP/OPT di Priok itu yang saat ini sudah kedarluwarsa. Tidak perlu ada perubahan besar tarifnya. Dilegalkan saja dengan cara memperpanjang masa berlakunya minimal hingga 6 bulan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (2/10).
Fuadi mendorong asosiasi penyedia dan pengguna jasa terkait di Pelabuhan Tanjung Priok bersama PT. Pelabuhan Tanjung Priok, anak usaha PT. Pelabuhan Indonesia II, untuk memproses perpanjangan masa berlaku OPP/OPT.
Dia berharap semua pihak berkontribusi dalam mendukung program pemerintah untuk menekan biaya logistik nasional termasuk biaya yang ada di pelabuhan.
Dengan perpanjangan masa berlaku OPP/OPT di Tanjung Priok, tegasnya, layanan jasa kepelabuhan tetap bisa dilakukan dan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Fuadi menambahkan sebaiknya tidak perlu menaikkan lagi tarif layanan bongkar muat di pelabuhan dalam kondisi perekonomian yang belum stabil serta volume kargo juga cenderung menurun.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan menyatakan evaluasi OPP/OPT kargo nonkontainer atau breakbulk di Tanjung Priok jangan sampai menaikkan biaya di pelabuhan itu.
“Harapannya jangan sampai ada kenaikan tarif karena akan memberatkan pelaku bisnis logistik,” ujarnya.
HARUS TRANSPARAN
Ketua BPD Gabungan Importir Nasional Seluruh Indoensia (GINSI) DKI Jakarta Subandi mengatakan sampai sekarang masih terdapat beberapa biaya di pelabuhan yang kedarluwarsa dan perlu dievaluasi lagi.
Tarif pelabuhan yang dimaksud adalah OPP/OPT untuk kegiatan bongkar muat kargo jenis breakbulk di terminal konvensional Tanjung Priok.
“Tarif OPP/OPT harus benar-benar dihitung secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, baik dari aspek tata hitunganya maupun struktur dan golongannya,” ujarnya.
Dia berpendapat OPP/OPT yang berlaku saat ini tidak transparan serta tidak mendorong upaya peningkatan produktivitas.
Padahal, katanya, masing-masing komoditas memiliki karakteristik dan produktivitas yang berbeda saat di muat ataupun dibongkar di dermaga pelabuhan.
“Belum lagi soal ada kewajiban bagi hasil atau sharing ke PT. Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 40% yang tidak jelas dari mana menghitungnya jika kegiatan bongkar muat dilakukan oleh perusahaan bongkar muat swasta,” tuturnya.
Oleh karena itu, GINSI menyarankan OPP/OPT dievaluasi mengingat tarif yang ada sudah kedarluwarsa.
“Kalau pakai tarif yang sudah kedarluwarsa bisa dikategorikan kegiatan bongkar muat kargo breakbulk di Priok itu illegal,” ujar dia. (k1)