Indopos.co.id
Indopos.co.id
Kamis, 23 November 2017
Oleh: Deri Ahirianto dan Novita Amelilawaty
INDOPOS.CO.ID - Usulan perpindahan peti kemas impor di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, mengacu pada hitungan jika yard occupancy ratio (YOR) di terminal peti kemas sudah mencapai 65 persen, mendapat sorotan pengusaha. Alasannya, pelabuhan bakal menjadi tempat penimbunan barang.
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Adil Karim, usulan itu hanyalah konsep yang sudah usang dan cenderung menyesatkan. "Kami menilai usulan tersebut berpotensi membuat pelabuhan kongesti dan menggagalkan program pemerintah dalam menekan biaya logistik dan capaian dwelling time," jelas Adil, Rabu (22/11).
Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantara mengatakan kegiatan relokasi peti kemas impor di Pelabuhan utama tetap harus mengacu pada batas waktu penumpukan maksimal tiga hari di lini satu pelabuhan atau terminal petikemas. Itu diatur dalam Permenhub Nomor 25 tahun 2017 tentang batas waktu penumpukan (longstay) di pelabuhan.
"Acuan YOR 65 persen dalam kegiatan relokasi peti kemas impor di pelabuhan Tanjung Priok pernah diterapkan beberapa tahun silam dan yang terjadi adalah pelabuhan seringkali dibanyangi kongesti lantaran fasilitas terminal berubah fungsinya sebagai tempat penimbunan barang," ujarnya.
Selain itu, lanjut Adil, pemilik barang impor (perusahaan forwarder) harus menalangi pembayaran biaya penumpukan yang tinggi. "Hal itu karena berlaku tarif progresif dan pinalti di lini satu pelabuhan," ujarnya.
Adil menambahkan berdasarkan kajian bersama penyedia dan pengguna jasa di Pelabuhan Tanjung Priok, telah disepakati bahwa terminal peti kemas harus menjalankan bisnis intinya. "Yakni sebagai operator bongkar muat. Bukan mengandalkan pendapatan dari biaya penumpukan atau storage," ujarnya.
Piahknya, lanjut Adil, mendukung terbitnya Permenhub Nomor 25 tahun 2017. tentang batas waktu penumpukan barang impor di empat pelabuhan utama di Indonesia. Barang impor hanya dibolehkan menumpuk maksimal tiga hari di lini satu Pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan dan Makassar.
"Peraturan itu sudah sangat efektif menekan dwelling time dan tidak menimbulkan biaya tambahan logistik. Namun jika mengacu YOR 65 persen dalam kegiatan relokasi justru akan sulit mencapai dwelling time ideal di pelabuhan. Apalagi untuk kurang dari tiga hari," jelas Adil.
Ia menambahkan, ALFI DKI Jakarta, mendesak Kantor Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok menjalankan dengan tegas implementasi Permenhub 25/2017 itu. Apalagi implementasi beleid di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini terbatas pada peti kemas impor yang belum mengantongi surat perintah pengeluaran barang (SPPB). Namun sudah menumpuk lebih dari tiga hari di pelabuhan (overbrengen).
"Sedangkan terhadap peti kemas impor yang sudah SPPB meskipun sudah lebih dari tiga hari di pelabuhan belum dilaksanakan relokasi oleh pihak terminal," pungkasnya. (dai)
Sumber: http://indobisnis.indopos.co.id/read/2017/11/22/117685/Pengusaha-Logistik-Tolak-Pelabuhan-Jadi-Tempat-Timbunan-Barang