Abdul Rahman, Bisnis Indonesia, Senin 18 Desember 2017
Industri pengiriman barang dan dagang elektronik bak dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi dagang-el terbesar di dunia pun bak surga bagi kedua bisnis tersebut.
Sayangnya, barang-barang yang dijual di toko dalam jaringan (daring) cenderung monoton alias itu-itu saja.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan barang yang dijual di toko daring dalam negeri masih didominasi oleh barang tersier.
Bila Anda membuka toko daring, akan tampak bahwa produk yang dijajakan sebagian besar adalah fesyen, gawai, atau kecantikan. Barang seperti kasur atau kulkas belum banyak. Kalaupun ada peminatnya tak banyak.
Padahal, seiring dengan meningkatnya daya beli masyarakat dan semakin dalamnya penetrasi dagang-el. Kebutuhan pembelian barang sekunder via toko daring pun semakin besar.
Zaldy menjelaskan penyebab belum banyaknya pengiriman barang kategori itu bukan karena permintaan yang tak ada atau kemampuan kurir yang kurang memadai.
“Bukan kemampuan pengiriman yang kurang memadai. Karena selama ini barang sekunder dan primer sudah dikirim untuk perdagangan offline, tapi untuk dijual di online masih terkendala biaya kirim yang mahal,” katanya kepada Bisnis, Sabtu (16/12).
Oleh karena itu, Zaldy menyarankan perusahaan ekspress tak menggantungkan sepenuhnya bisnis mereka pada dagang-el. Dia memprediksi pertumbungan dagang-e; pada tahun depan tidak akan sebaik tahun ini karena jenis barang yang monoton tersebut.
Biaya kirim memang masih menjadi kendala bagi industri ekspress di Indonesia. Penyebabnya tak lain adalah banyaknya komponen biaya yang harus ditanggung perusahaan jasa kurir.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) Mohamad Feriadi berulang kali mengeluhkan hal tersebut.
Salah satu komponen biaya terbesar adalah Surat Muatan Udara (SMU). Feriadi mengatakan persentase SMU bisa mencapai 30% dari total biaya pengiriman.
Tingginya biaya SMU membuat pengusaha jasa pengiriman batang kesulitan menekan harga khususnya pengiriman barang antarpulau. Apalagi, sebagian besar barang yang dikirim ke luar daerah menggunakan pesawat terbang.
BIAYA RA
Komponen lain adalah biaya agen inspeksi alias regulated agen (RA). Penyelenggaraan RA, katanya, sudah sepatutnya dievaluasi karena membuat biaya pengiriman menjadi tinggi. Oleh karena itu, RA seharusnya dikelola langsung oleh pemerintah.
Konsultan senior Supplt Chain Indonesia (SCI) Zaroni mengatakan pengiriman barang primer dan sekunder memang jarang dilakukan melalui perusahaan pengiriman ekspres. Pertimbangannya adalah biaya, kapasitas angkut dan fleksibilitas pengiriman.
Pengiriman melalui pos atau kurir memang punya keterbatasan dalam dimensi atau ukuran volume yang tidak lebih dari 30 kilogran. Sementara itu, produk primer dimensinya sangat besat, sehingga memerlukan kapasitas angkut yang besar seperti FTL (full truck load) atau FCL (full container load).
“Biaya per unit atau per kilogram menjadi pertimbangan utama pemilik barang,” terangnya.
Sejatinya, beban biaya ongkos kirim bisa disiasati dengan maraknya promosi bebas ongkos kirim yang dilakukan perusahaan dagang-el. Direktur Pelaksana PT. Citra Van Titipan Kilat (TIKI) Tomy Sofhian pernah mencontohkan konsumen di Papua bisa membeli beras lebih murah melalui toko daring ketimbang membeli langsung di pasar. Caranya dengan memanfaatkan free ongkos kirim (ongkir).
Namun, cara tersebut bukan solusi terbaik karena promosi tersebut tak selamanya ada. Promosi tersebut hanya trik pemasaran demi menarik pelanggan, padahal biaya kirim sebenarnya tetap saja mahal.
Pemerintah tentu harus mengambil langkah strategis agar biaya kirim tak lagi menjadi kendala. Salah satu contohnya dengan mengevaluasi komponen biaya yang membebani tarif pengiriman barang. Nah, kapan pemerintah memulainya? Kita tunggu saja respons pemerintah.