Ilham Budhiman & Sri Mas Sari, Bisnis Indonesia, Jumat, 24 Agustus 2018
JAKARTA – Asosiasi Logistik Indonesia menyarankan Kementerian Perhubungan memberikan subsidi tarif pelabuhan di daerah daripada membiayai sewa kontainer berpendingin untuk mematik muatan balik Tol Laut.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita mengatakan subsidi biaya pelabuhan daerah bertujuan mengurangi beban biaya muatan balik.
Menurutnya, salah satu faktor yang membuat biaya angkut kontainer tinggi ke Indonesia timur adalah biaya repo container kosong dari timur ke barat. Selama ini, muatan balik dari timur ke barat Indonesia jauh lebih kecil.
“Bila biaya repo yang biasa di-charge oleh pelabuhan jadi nol maka biaya angkut kontainer akan turum termasuk juga biaya reefer container,” jelasnya, Kamis (23/8).
Zaldy menegaskan saran itu sekaligus menanggapi rencana pemerintah memberikan subsidi sewa kontainer berpendingin atau reefer container demi mematik muatan balik yang selama ini relative kosong dari wilayah timur Indonesia.
Berkaca dari pengalaman subsidi Tol Laut, dia menegaskan pemberian subsidi kepada pelayaran dinilai tidak efektif.
“Sangat aneh kalau Kementerian Perhubungan memberikan subsidi kepada pelayaran. Pengalaman dari Tol Laut sebelumnya dengan subsidi kepada pelayaran untuk mengangkut muatan ke Indonesia timur sudah terbukti tidak efektif,” kata Zaldy.
Saat subsidi Tol Laut dicabut, dia menilai biaya angkut barang akan naik lagi dan tidak memberikan dampak permanen kepada penurunan harga barang pokok.
Selain itu, dia menambahkan pola subsidi Tol Laut tidak menyelesaikan masalah peningkatan biaya inventor karena frekuensi kapal bersubdisi itu tidak sering atau paling cepat seminggu sekali.
Zaldy menilai rencana subsidi sewa kontainer berpendingin akan mengulangi kesalahan yang sama. “Dan itu patut dicurigai oleh KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi],” ujarnya.
Sementara itu, dosen kemaritiman dari ITS Surabaya Raja Oloan Saut Gurning berpendapat subsidi sewa peti kemas berpendingin dalam program Tol Laut sebaiknya bersifat sementara agar memacu munculnya permintaan yang tinggi dari pemilik barang.
Menurutnya, subsidi itu tepat guna sepanjang bersifat menstimulasi angkutan balik kargo yang membutuhkan reefer container.
“Jika permintaan naik atau sudah bersifat komersial, makan intervensi lewat subsidi perlu dikurangi hingga dihilangkan,” katanya.
Bila tidak menggunakan pola itu, sambung dia, subsidi akan membebani anggaran negara dan hanya menguntungkan pihak tertentu. Saut melihat potensi kerja sama bisnis antarpelaku usaha untuk memenuhi kebutuhan reefer container sebetulnya ada.
RUTE POTENSIAL
Dia melanjutkan subsidi diberikan kapada trayek yang potensial mengangkut kargo yang berisiko cepat rusak, seperti hortikultura, produk perikanan tangkap dan budi daya, serta hewan potong.
“Misalnya ada korporasi perikanan yang ingin mendapatkan reefer dan volumenya banyak serta kontinu saya kira bisa diatasi secara komersial antara perusahaan tadi dengan operator kapal Tol Laut,” ujarnya.
Data Kemenhub mencatat kondisi less container load (LCL) kerap terjadi pada beberapa rute Tol Laut. Sebagai contoh, muatan berangkat KM Caraka Jaya Niaga III-4 yang dioperasikan PT. Pelayaran Nasional (Pelni) untuk melayani trayek T-2 (Tanjung Priok-Tanjung Batu-Blinyu-Tarempa-Natuna (Selat Lampa)-Midai-Serasan-Tanjung Priok) rata-rata 501 ton per perjalanan (voyage) atau 19,3% dari kapasitas kapal 2.600 ton. Namun, muatan baliknya rerata hanya 12,7 ton per voyage.
Hal itu nyaris sama juga terjadi pada trayek T-9 (Tanjung Perak-Nabire-Serui-Wasior-Tanjung Perak) dan T-11 (Tanjung Perak-Timika-Agats-Merauke-Tanjung Perak) yang dioperasikan Pelayaran Tempuran Emas,Tbk (Temas Line).
Rata-rata muatan berangkat kedua rute masing-masing 42,3 TEU’s dan 26 TEU’s per voyage. Namun, muatan baliknya menurut catatan Temas 5-10 TEU’s per voyage.
Pelaksana Tugas Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kementerian Perhubungan Wisnu Handoko sebelumnya mengatakan pemerintah sedang menggodok subsidi sewa reefer container untuk mematik muatan balik tol laut dari timur yang masih relatif kosong.
Menurutnya, eksekusi ide itu membutuhkan payung hukum mengingat beleid yang ada selama ini hanya memayungi subsidi operasi kapal yang kemudian dituangkan dalam kontrak dengan operator.
“Kami lagi cari referensi apakah bisa di subsidi kontainer ini kami bisa sewa kontainer hanya nomenklatur yang ada pada istilah subsidi operasi kapal,” ujarnya.
Soal kebutuhan dana untuk menyubsidi sewa reefer container, Kemenhub masih menghitung berapa yang akan dialokasikan dari anggaran tol laut. Pemerintah mengalokasikan subsidi hingga Rp. 447,6 miliar tahun ini untuk tol laut, naik 33% dari alokasi subsidi 2017.
Pelayaran Tempuran Emas, Tbk (Temas Line) mengusulkan rencana subsidi angkutan balik karena akan memotivasi produksi di luar Jawa sekaligus menekan biaya pengangkutan saat armada Tol laut kembali ke Jawa.
Sejak April 2018, Temas Line yang juga perusahaan pelayaran Merah Putih melayani trayek T-9 (Tanjung Perak-Nabire-Serui-Wasior-Tanjung Perak) dan T-11 (Tanjung Perak-Timika-Agats-Merauke-Tanjung Perak).
Direktur Operasional Temas Line Teddy Arief Setiawan mengusulkan agar subsidi diberikan kepada pengangkutan hasil pertanian dan perkebunan Papua. Selama ini, distribusi komoditas itu terganjal biaya pengangkutan yang mahal. Akibatnya, harga produk tidak kompetitif begitu sampai di Pulau Jawa.