News Detail
RI Darurat Penjaga Laut & Pantai

Rinaldi M. Azka & Sri Mas Sari, Bisnis Indonesia, Selasa 20 Agustus 2019

Bisnis, JAKARTA – Para pebisnis di sektor pelayaran menolak wacana revisi UU No. 17/2008 tentang Pelayaran karena banyak hal yang menjadi amanat beleid tersebut belum dilaksanakan, seperti pembentukan otoritas tunggal penjaga laut dan pantai.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Ilham Masita menuturkan bahwa urusan sea and coast guard hingga saat ini tidak jelas, padahal pemerintah seharusnya paham perbedaan antara angkutan laut dan angkatan laut.

Dalam pandangan ALI, Indonesia tengah darurat penjaga laut dan pantai yang tidak sekadar untuk menjaga kedaulatan dan keamanan laut, tetapi juga sebagai mandate UU Pelayaran yang wajib dilaksanakan.

“Di sisi, posisi pelayaran jelas, sea and coast guard harus dibentuk sesuai dengan amanat UU Pelayaran, bukan UU lain yang dibuat setelah itu. Lalu kenapa dunia pelayaran juga menjadi pihak yang kencang meminta agar sea and coast guard segera dibentuk sesuai UU Pelayaran? Agar bangsa ini bisa makmur lagi,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (19/8). 

Dia mengatakan, banyak pihak yang tetap mencari celah meruntuhkan kedaulatan pelayaran dengan dalih ingin merevisi UU Pelayaran. “Di tengah jalan, hampir dipastikan ada penumpang gelap yang akan menyisipkan pasal-pasal yang diinginkan,” katanya.

Menurutnya, guna keutuhan laut NKRI, UU Pelayaran jangan diubah, tetapi aturan turunannya yang dibuat. Utang pemerintah disebut masih banyak dalam melaksanakan UU Pelayaran, termasuk soal sea and coast guard dan kapal nonkonvensi.

Ketua Umum DPP Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan hal senada. Menurutnya, amanat untuk membentuk sea and coast guard sebagai badan tunggal pengaja laut dan pantai harus segera dibentuk.

Dengan belum seluruh amanat UU tersebut dijalankan, katanya, tentunya dampak positif atau negatif dari aturan seluruh pihak terkait sektor pelayaran.

“Karena amanat dari UU belum berjalan seluruhnya, jadi kami belum dapat merasakan dengan total apakah UU yang ada saat ini masih cocok atau sudah tidak cocok dengan keadaan di lapangan saat ini,” katanya.

Wakil Ketua Umum III INSA Darmansyah Tanamas menambahkan, saat ini terjadi tumpang-tindih kewenangan dalam penjagaan keamanan di laut Indonesia. Keadaan ini telah merugikan operasi kapal maupun kualitas muatan.

Dia memberi gambaran bahwa tongkang batu bara dengan kapasitas angkut 300.000 ton dan nilai kargo Rp. 1 miliar – Rp. 1,5 miliar, mengeluarkan biaya operasional Rp. 20 juta per hari.

“Kalau dihentikan oleh aparat, waktu menjadi tidak dapat diprediksi, biaya operasional kapal membengkak. Belum lagi kualitas batu bara mudah turun kalau kena hujan,” katanya, Senin (19/8).

 

BADAN TUNGGAL

INSA, lanjutnya, menanti keseriusan pemerintah membentuk badan tunggal penjaga keamanan di laut (sea and coast guard) yang merupakan amanat UU Pelayaran. Wadah tunggal itu pula yang akan menjadi badan satu-satunya penegak hukum di laut.

Dalam catatan INSA, ada 18 instansi yang kerap menghentikan kapal di tengah laut, misalnya Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kepolisian Perairan (Polair), Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan.

Ada pula petugas Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan TNI Angkatan Laut. Setiap instansi berwenang atas dasar peraturan perundangan yang menaunginya.

Darmansyah berpendapat, seluruh instansi itu dapat melebur menjadi satu badan. Bisa pula salah satu badan dijadikan sea and coast guard dan yang lainnya melebur. Badan tunggal itu nantinya berwenang menghentikan kapal, menangkap, hingga memproses penegakan hukum.

Sampai saat ini, lanjutnya, pengusaha pelayaran nasional menilai UU Pelayaran yang ada masih relevan diberlakukan. Jikapun ada kekurangan dapat dilakukan perubahan dengan mengubah peraturan turunannya, seperti peraturan menteri, tanpa harus merevisi UU Pelayaran.

“Yang dibutuhkan para pengusaha palayaran nasional kan kepastian usaha, dengan kepastian hukum dan kebijakan di sektor pelayaran. Agar pelaku usaha dapat berusaha lebih tenang,” tuturnya.

Selain itu, jika semangat merevisi UU Pelayaran itu berangkat dari belum terjadinya efisiensi biaya logistik nasional, tentunya tidak adil jika hanya menyalahkan angkutan laut.

Seluruh pemangku kepentingan harus berani membedah porsi beban biaya logistik dari pos mana saja. Pasalnya, angkutan laut hanya satu dari mata rantai logistik.

“Tidak bisa tanpa memcari penyebabnya, kita lantas begitu saja merevisi undang-undang,”imbuhnya.

Apalagi, ujar Zaldy, ALI berpandangan bahwa dunia pelayaran tengah menghadapi fenomena yang kurang baik dalam beberapa pecan terakhir seiring dengan adanya wacana dibukanya keran investasi asing ke industri pelayaran yang dilindungi asas cabotage.

Secara hampir bersamaan, ungkapnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah mewacanakan perubahan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran agar keran investasi asing bisa masuk ke industri pelayaran.

Menurutnya, lahirnya asas cabotage adalah perjuangan panjang para pemangku kepentingan di sektor pelayaran agar dapat berdaulat di perairan Indonesia.


Back to List

25 Mar 2024

KAI Logistik Perluas Jangkauan Pengiriman hingga ke Kalimantan

Sakina Rakhma Diah Setiawan, Kompas.com, Sabtu 23 Maret 2024

18 Mar 2024

Larangan Angkutan Logistik Saat Libur Hari Besar Keagamaan Munculkan Masalah Baru

Anto Kurniawan, Sindonews.com, Minggu 17 Maret 2024

18 Mar 2024

Kemendag Dorong Relaksasi Pembatasan Angkutan Logistik Saat Hari Raya

Mohamad Nur Asikin, Jawapos.com, Sabtu 16 Maret 2024

08 Mar 2024

Dirjen SDPPI: Hadirnya gudang pintar 5G pecut industri berinovasi

Fathur Rochman, Antaranews.com, Kamis 7 Maret 2024

07 Mar 2024

Jurus Kemenhub Tekan Ongkos Biaya Logistik Supaya Makin Murah

Retno Ayuningrum, Detik.com, Rabu 6 Maret 2024

07 Mar 2024

Transformasi Digital Pelabuhan Dorong Peningkatan Efisiensi Biaya Logistik

Antara, Republika.co.id, Rabu 6 Maret 2024

Copyright © 2015 Asosiasi Logistik Indonesia. All Rights Reserved