Bisnis Indonesia, Selasa 22 November 2016
JAKARTA – Pungutan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang berasal dari penanganan kargo impor berstatus less than container load terus terjadi kendati pemerintah menggelar operasi pemberantasan pungutan liar.
Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta Widijanto mengatakan pihaknya sangat prihatin dengan pembiaran atas kondisi pungutan liar (pungli) yang berasal dari layanan kargo impor berstatus less than container load (LCL) di Tanjung Priok itu.
“Sudah sering kali kami utarakan dan sampaikan soal pungli kargo impor LCL itu tetapi tidak ada respons dari instansi terkait,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (21/11).
Seharusnya, menurutnya, Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta lebih peka atas kondisi pungli di pelabuhan terbesar di Indonesia itu.
Akibat tidak adanya respons serius dari instansi terkait, dia menyatakan sampai kini ALFI DKI banyak menerima keluhan atau protes dari pemilik barang impor yang terpaksa mengeluarkan biaya lebih kepada forwarder konsolidator di pelabuhan itu.
Widijanto menilai forwarder konsolidator memungut tarif layanan kargo impor LCL di luar batas kewajaran.
“ALFI setuju ditertibkan saja, bila perlu jika ada anggota kami yang memungut tarif layanan kargo impor LCL di Priok yang tidak wajar silakan diberikan sanksi tegas,” tuturnya.
Dia menyampaikan hal tersebut sekaligus menegaskan komitmen ALFI dalam mendukung program pemerintah menekan biaya logistik serta memberantas pungli di sektor jasa kepelabuhanan dan angkutan laut.
BIAYA TAMBAHAN
Menurutnya, pemilik barang impor di Tanjung Priok sering kali dikutip biaya tambahan seperti devaning atau pecah pos yang mencapai Rp. 2,13 juta per cbm, biaya lain-lain Rp. 2,80 juta per dokumen, serta administrasi delivery order (DO) Rp. 1,45 juta.
Selain itu, pemilik barang impor juga dikutip overbrengen charges yang mencapai Rp. 300.000 per m3, bahkan adan istilah biaya tuslah yang mencapai Rp. 375.000 per dokumen, sticker Rp. 50.000, dan biaya surveyor berkisar Rp. 50.000 per m3.
“Ini kan sudah enggak benar, kalau mau usaha ya enggak begitu caranya. Ini namanya bikin biaya logistik tinggi dan masuk kategori pungli,” tandasnya.
Padahal, lanjutnya, komponen biaya LCL kargo impor sudah disepakati asosiasi penyedia dan pengguna jasa di Tanjung Priok pada 2010. Komponen itu adalah forwarder charges a.l. CFS charges, DO charges, agency charges, dan administrasi. Untuk biaya lokal untuk layanan LCL kargo impor hanya diberlakukan komponen tarif a.l. delivery, mekanis, cargo shifting, surveyor, penumpukan, administrasi behandle dan surcharges.
Dia mengatakan, persoalan layanan kargo impor LCL tersebut sudah banyak yang dilaporkan langsung oleh pemilik barangnya ke Kementerian Perdagangan. (k1)