Nur Rahmat & Hadijah Alaydrus - Bisnis Indonesia
JAKARTA – Pengusaha industry logistik mempertanyakan kebijakan BUMN Kepelabuhanan terkait dengan penetapan konsolidasi kargo ekspor untuk alih muat (transshipment) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Sebelumnya, PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I-IV membuat kesepakatan untuk menetapkan dua pelabuhan, Pelabuhan Tanjung Priok, untuk menjadi super hub yang fokus menjalankan transshipment atau alih muat ke kapal besar tujuan ekspor.
Yukki N. Hanafi, Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) yang juga menjabat sebagai Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA), mempertanyakan kejelasan konsep super hub yang akan diterapkan BUMN pelabuhan karena tidak ada konsepnya dalam tata kepelabuhanan nasional atau internasional.
Berdasarkan cetak biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas), hub internasional sudah ditetapkan di Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung. Jika dari pemerintah mendukung hal ini, tentu harus ada revisi dari cetak biru tersebut.
“Berkaitan double handling, saya tidak bisa membayangkan kalau [kargo ekspor] dari Sumatera Utara ke Jakarta dulu atau Makassar ke Surabaya atau ke Jakarta. Saya melihat ada potensi kenaikan biaya logistik di situ,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (21/12).
Dia memahami keinginan mendatangkan kapal besar di Pelabuhan Tanjung Priok dalam rangka persaingan dengan Singapura dan Malaysia. Namun, operator pelabuhan dan pemerintah harus menghitung kapasitas volume kapal besar yang dibutuhkan untuk masuk ke Indonesia.
“Ini tidak ada jaminan. Semua kapal besar itu sudah ada hubungan dengan [pelabuhan] Singapura dan Malaysia,” tegasnya. Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah dan BUMN harus melihat adanya kargo dengan kebutuhan khusus yang harus cepat dikirim, seperti produk sayur, buah dan ikan segar.
Kargo jenis tersebut tidak mungkin menggunakan sistem pooling di satu pelabuhan karena adan memperlama waktu pengiriman.
Kebijakan ini, lanjutnya, akhirnya mematikan direct call ke pelabuhan lain karena menganggu muatan di daerah.
Dia membenarkan ada kemungkinan pengalihan pajak ekspor daerah dari pengapalan internasional ke Ibukota, lokasi Pelabuhan Tanjung Priok.
Aulia Febrial Fatwa, Ketua Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia, menuturkan penetapan transshipment kapal besar di Pulau Jawa tidak sesuai dengan Sislognas. Dia menambahkan kebijakan ini akan mengancam keamanan dan pertahanan nasional karena kapal asing masuk langsung ke perairan tengah Indonesia.
Selain itu, dia menilai kebijakn ini jika diterapkan untuk kargo ekspor saja akan berpotensi meningkatkan biaya logistik karena adanya double handling. Biaya logistik tinggi menekan daya saing eksportir.
Senator Nur Bahagia, guru besar Teknik ITB, mengatakan kebijakan super hub seharusnya ditekankan untuk konsolidasi barang impor. Sementara itu, direct call harus tetap mengakomodasi produk ekspor.
Direktur Utama PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) Elvyn G. Masassya mengatakan super hub ini nantinya tidak akan menutup kesempatan pelabuhan di bawah BUMN lain untuk melakukan direct call atau pengapalan langsung.