Kompas, Kamis 26 juli 2018
JAKARTA, KOMPAS – Indeks kinerja logistik Indonesia, menurut data yang dirilis Bank Dunia, naik dari peringkat ke-63 pada tahun 2016 jadi peringkat ke-46 pada tahun 2018. Perbaikan itu diapresiasi. Namun, pelaku usaha berharap kenaikan indeks berkorelasi dengan penurunan biaya logistik.
Bank dunia menganalisis 160 negara dalam Logistics Performance Index (LPI) 2018. Enam faktor jadi pertimbangan, yakni efisiensi bea cukai dan pengelolaan perbatasan, kualitas infrastruktur terkait perdagangan dan transportasi, pengaturan pengiriman, kualitas layanan logistik, ketepatan waktu, serta pelacakan dan penelusuran.
Skor Indonesia meningkat dari 2,98 pada tahun 2016 menjadi 3,15 pada tahun 2018. Namun, posisi Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara, seperti Malaysia (peringkat ke-41), Vietnam (39), Thailand (32), dan Singapura (7).
Direktur Utama PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi di Serang, Rabu (25/7/2018), menyambut gembira meningkatnya peringkat kinerja logistik Indonesia. Namun, persentase biaya logistik terhadap produk domestik bruto (PDB) perlu dicermati.
“Selama ini biaya logistik kita cukup besar, yakni 24-26 persen dari PDB. Padahal, biaya logistik tidak memberikan nilai tambah terhadap barang,” ujarnya.
Meski demikian, peran logistik sangat penting bagi ketahanan sebuah wilayah. “Begitu kapal kami tidak bisa datang tepat waktu karena cuaca, harga barang di daerah tujuan langsung melonjak,” ujar Ira.
Demi menunjang logistik melalui laut, ASDP Indonesia Ferry sudah menjalankan feri jarak jauh, Surabaya-Lembar (Lombok), selama dua tahun terakhir. Selain feri jarak jauh, ASDP juga mulai melayani kapal ternak.
Ongkos
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Ilham Masita berharap kinerja logistik tetap konsisten meningkat di tahun-tahun ke depan. Sayangnya, kenaikan peringkat LPI tidak berkorelasi pada penurunan biaya logistik secara total.
Menurut Zaldy, penurunan biaya logistik karena infrastruktur dan deregulasi tertutup oleh tarif-tarif logistik yang makin tinggi di pelabuhan dan bandara, termasuk penerimaan negara bukan pajak. Dia berharap pemerintah serius mengurangi tarif-tarif yang membebani logistik secara permanen, baik pungutan resmi maupun pungutan liar.
Sementara itu, PT. ASDP Indonesia Ferry berencana menerapkan penjualan tiket berjadwal dan nontunai mulai pertengahan Agustus 2018. Pencantuman jam keberangkatan diharapkan menghilangkan kepadatan di satu titik.
Kedatangan penumpang yang menumpuk di waktu yang sama membuat kondisi pelabuhan penyeberangan tidak nyaman. Pelayanan pun jadi tidak maksimal. Saat Lebaran, misalnya, mayoritas penumpang berangkat pada malam hari. Akibatnya, calon penumpang menumpuk pada malam hari.
“Jadi penumpang membeli tiket di agen penjualan atau melalui internet. Tiket mencantumkan jadwal keberangkatan. Di luar jadwal yang ada, tiket tidak berlaku,” kata Ira.
Pada tahap awal, tiket berjadwal dan nontunai akan diterapkan untuk penumpang jalan kaki dan hanya di pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheni dan Ketapang-Gilimanuk. Selanjutnya bertahap untuk sepeda motor dan mobil pada akhir 2018. (ARN)